SABTU, 5 Februari 2005, saya termasuk yang beruntung. Dua artikel penelitian saya memperoleh penghargaan Jurnal Internasional dari Universitas Indonesia. Penghargaan yang diberikan bersamaan dengan Dies Natalis UI Ke-55 itu membahagiakan sebentar.
Namun, ketika rombongan Rektor beserta para Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang cukup panjang melintas, saya merasa getir. Saya hitung jumlah profesor yang melintas di depan saya lebih dari dua puluh orang, namun jumlah paper yang mendapat penghargaan internasional kali ini tidak lebih dari 20 buah. Apa yang terjadi dengan mesin ilmiah UI selama 55 tahun itu? Jumlah tersebut relatif tidak berubah dibandingkan dengan delapan tahun lalu, pada saat saya menerima penghargaan serupa untuk pertama kalinya.
Menjelang usia 40 tahun, saya sering mendengar perkataan bahwa life begins at fourty. Jika UI adalah manusia, seharusnya ia telah mapan karena 15 tahun lebih tua dari para beginners. Apalagi UI telah mencanangkan bahwa tahun 2010 universitas terbesar ini akan menjadi research university.
Namun, dengan relatif konstannya jumlah publikasi internasional, cita-cita itu tampaknya sulit dicapai. Saya kembali teringat institut tempat saya mendapat gelar doktor hampir sepuluh tahun lalu. Setiap tahun, institut ini menghasilkan lebih dari 100 paper yang dipublikasi di jurnal internasional. Itu tidak termasuk prosiding konferensi yang jumlahnya dapat melebihi angka tersebut.
Universitas yang menaunginya memiliki sekitar 10 institut. Jadi, dapat dibayangkan jumlah paper yang diproduksi setiap tahunnya! Membandingkan angka-angka tersebut, jangan-jangan research university yang dicanangkan hanya akan menjadi fatamorgana semata.
UI bukanlah satu-satunya contoh persoalan dunia ilmiah kita. Saya bayangkan bahwa fenomena semacam ini terjadi merata di Indonesia. Jadi, tentu ada yang salah pada bangsa ini dalam menata dunia ilmiahnya.
Manajemen riset
Kesalahan dalam manajemen riset kemungkinan besar berakar dari budaya Indonesia yang terlalu cepat ingin jadi besar dan kaya. Kita menyenangi acara-acara seremonial yang agung, tetapi melupakan kerja keras di balik itu. Kita sering mengagungkan serta memimpikan anak bangsa mendapat hadiah Nobel, namun menampik fakta bahwa untuk itu diperlukan riset serius jangka panjang.
Keberhasilan suatu institusi riset sering dinilai dari banyaknya MOU yang dihasilkan, bukan dari publikasi internasionalnya. Budaya bangsawan-minded telah membuat masyarakat menyenangi berbagai gelar. Jika gelar kesultanan sekarang sudah dianggap kuno, maka gelar-gelar modern mulai banyak ditawarkan. Gelar doktor mudah untuk didapat, cukup kirim uang ke alamat tertentu dan sertifikatnya bakal di tangan.
Yang lebih parah lagi adalah gelar profesor. Setahu saya, profesor adalah jabatan. Jadi, membeli gelar profesor sama saja dengan membeli gelar presiden, direktur, manajer, atau semacamnya.
Kembali ke manajemen riset, saya melihat orang mulai mengkritik kinerja 100 hari Menristek. Saya kira si pengkritik berharap "terlalu banyak dan terlalu cepat" (TBTC), sementara Menristek menyadari bahwa ia hanyalah Suparman, bukan Superman.
Meski demikian, saya melihat manajemen yang diterapkan Menristek masih mengikuti pola lama yang mengikuti kegagalan masyarakat ilmiah kita. Hal ini saya sandarkan pada penetapan garis-garis besar riset unggulan atau strategis yang dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT). Apa yang ditetapkan adalah sesuatu yang TBTC pula.
Mari kita tengok tren riset sekarang. Tidak lain adalah teknologi nano, teknologi informasi, dan genom. Memang, ini adalah tren dunia, namun komponen utama penggerak riset, yaitu sumber daya manusia (bukan sumber dana) yang unggul di bidang itu.
Tentu saja untuk riset harus ada sumber daya manusia. Namun, untuk dapat bersaing di dunia internasional, sumber daya manusia tersebut harus sumber daya unggul.
Sepanjang pengetahuan saya, selama ini tidak pernah ada yang mempermasalahkan apakah peneliti kita unggul di tiga bidang itu.
Yang lebih parah adalah riset harus mengarah pada suatu produk komersial yang dapat dijual, dengan asumsi bahwa dana riset dapat diperoleh dari sana. Saya kira ini juga anggapan TBTC.
Apa yang saya lihat saat ini adalah masyarakat ilmiah kita belum memiliki budaya riset, jadi masih jauh dari sasaran komersial. Seharusnya, target membudayakan riset adalah target pertama dari KMNRT.
Peneliti yang militan
Dalam kondisi infrastruktur dan keuangan yang serba terbatas, tidak ada cara lain bagi pemerintah selain mempekerjakan para peneliti yang militan. Peneliti yang sanggup hidup di bawah garis kemakmuran (bukan garis kemiskinan) sambil melakukan penelitian bertaraf internasional. Peneliti yang realistis dan pragmatis tentu saja hanya akan berhasil di negara maju. Namun, seorang peneliti yang militan akan menggunakan segenap cara untuk terus eksis dalam komunitasnya.
Fisikawan Pakistan, almarhum Abdus Salam, pernah mengatakan bahwa salah satu kelemahan ilmuwan di negara berkembang adalah kurangnya ambisi untuk menguasai sains dan teknologi. Peneliti yang militan tentu saja harus berambisi menguasai satu bidang yang ia paling suka.
Namun, bagaimana menjaring para militan ini sekaligus memperkirakan di bidang penelitian apa kita unggul?
Proses yang dilakukan harus bersifat bottom-up. Selama ini, penetapan riset unggulan dilakukan para birokrat (top-down). Kalaupun melibatkan segelintir peneliti, maka hanya peneliti kalangan atas. Sementara keinginan serta keunggulan mayoritas para peneliti yang berkutat di dalam laboratorium tidak pernah diketahui.
Proses yang terjadi selama ini ibarat membangun atap rumah tanpa memedulikan tiang dan fondasi. Agar bottom-up, pemerintah harus memfasilitasi pembentukan dan pertemuan (berupa workshop) para peneliti sebidang. Jika para peneliti sebidang sering bertemu, mereka dapat mengetahui di mana kekuatan mereka dan informasi ini dapat diteruskan ke atas. Jadi, fondasi penelitian yang kokoh dapat dibentuk.
Riset unggulan tidak boleh hanya ditentukan dari kebutuhan mendesak bangsa atau negara, namun juga harus digariskan sesuai dengan keunggulan para peneliti di republik ini.
Sebagai contoh, bisa ditengok negara maju seperti Jepang. Bangsa Jepang tentu saja membutuhkan pesawat- pesawat terbang komersial berukuran besar. Meski mereka memiliki teknologi dan sumber daya manusia untuk itu, mereka menyadari bahwa mereka kurang unggul untuk bersaing dengan Boeing, Mc Donnel Douglas, atau Airbus.
Dr Terry Mart Dosen pada Departemen Fisika, FMIPA UI, Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar