Umar Singgih, S.Pd, Kepsek SMKN 3 Sorong |
Saya pagi itu pukul 08.00 sudah sampai di sekolah tersebut. Pintu gerbang masih terkunci. Namun satpam yang berada di pintu gerbang buru-buru membukakan pintu. Akhirnya mobil yang dicarter panitia ujian bisa masuk sampai di halaman sekolah.
Saya turun dari mobil persis di depan ruang yang difungsikan sebagai tempat pembelajaran menggunakan komputer itu. Tapi pintu ruangan masih terkunci. Kemudian saya ditemui seorang bapak separuh baya, yang awalnya saya menduga kepala sekolah. Tetapi ternyata bukan, mungkin penjaga sekolah.
Saya mulai menyapa dan bertanya kepadanya tentang kejadian kemarin sore. Kejadian tawuran yang saya belum tahu benar ujung pangkalnya. Yakni tawuran warga yang melibatkan sekolah itu.
Umar Singgih membelakangi lensa, berbincang dengan salah satu bekas muridnya |
Di tengah-tengah perbincangan itu munculah seseorang yang berperawakan gemuk, berkacamata. Tiba-tiba dia ikut nimbrung dalam pembicaraan itu. Bahkan dia lebih detail menceritakan kejadian tanggal 10 Agustus 2022 tersebut.
“Saya datang ke polsek dan menjamin bahwa anak-anak kami tidak akan menyerang,” ujarnya bijaksana.
Ia menjelaskan bahwa sebenarnya pemicu tawuran bukan siswa-siswa sekolah itu. Warga kampung di depan sekolah itu punya anak di sekolah lain yang sedang berantem. Ketika kelompok lawan dari anak warga itu mau menyerang kampung itu rupanya memancing perhatian siswa-siswa sekolah SMKN 3 dan terlibat tawuran itu. Akhirnya warga malah menyerang sekolah tersebut.
Berita tivi terkait tawuran di SMKN 3 Sorong |
“Iya, saya orang Jawa”, jawabnya.
“Bapak kepala sekolah di sini?”, tanya saya.
“Iya, saya Umar, diberi amanah menjadi kepala sekolah setelah kepala sekolah sebelumnya pensiun”.
Saya baru tahu kalau bapak ini namanya Umar.
Ketika saya tanya lanjut, ternyata ia berasal dari Kabupaten Klaten, tepatnya depan rumah sakit Tegalyoso Klaten.
Saya tidak bisa menggali lebih banyak informasi dari bapak ini lagi, karena peserta ujian sudah banyak yang datang dan beliau juga langsung masuk ruangan.
Hari itu sekolah diliburkan sampai batas waktu yang belum bisa dipastikan, akibat tawuran tersebut.
Seorang polisi memberikan keterangan |
Saya kemudian membayangkan Pak Umar ini dulu mungkin bersekolah di Jawa atau di Klaten kemudian setelah lulus mencoba merantau ke Kota Sorong. Lantas mendaftar menjadi guru. Meniti karir sebagai abdi negara di tanah Papua yang mungkin waktu itu juga belum semaju sekarang.
Dia berjuang dalam pengabdiannya memajukan pendidikan warga Papua Barat dengan segala keterbatasannya. Hingga sekarang dia diamanahi jabatan kepala sekolah.
Namun dari ceritanya yang hanya sepenggal itu saya menangkap dia sudah cukup menguasai bagaimana dinamika sosial di Kota Sorong.
Ketika ujian kompetensi berlangsung saya sempat berkliling ke belakang sekolah itu. Cukup luas. Dan saya menemukan papan informasi, bahwa nama lengkap Pak Umar adalah Umar Singgih.
Abdi negara seperti Umar Singgih ini tentu jarang diketahui orang. Tentang suka dukanya menjadi orang perantauan di Papua. Juga tentang suka dukanya memberikan pengabdian itu. Tentang bagaimana ia memajukan pendidikan tanah Papua.Saya sempat bertanya kepada salah satu ASN Kabupaten Sorong Selatan bekas murid dan yang saat itu juga hadir di SMKN 3 Sorong itu, apa beliau gurunya? Ia mengatakan bahwa memang Pak Umar bekas gurunya. Dulu waktu ia masih bersekolah di situ masih berstatus guru. Ia baru tahu kalau sekarang sudah diangkat menjadi kepala sekolah.
Ini hanya sepenggal cerita tentang seseorang yang berasal dari Kabupaten Klaten dan merantau ke Tanah Papua. Di sana ia meniti karir sebagai abdi negara di bidang pendidikan.
Mungkin tidak terlalu penting dalam konteks jurnalistik. Tetapi ada sesuatu yang menarik untuk ditulis.
Akhirnya saya hanya bisa mengucapkan: tuntaskan pengabdiannya Pak Umar di Kota Sorong. Sebelum pensiun.
Setelah pensiun apakah dia mau pulang kampung ke tanah asalnya Kabupaten Klaten, saya tidak tahu. Karena saya hanya sempat berbincang singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar